Isu pemerkosaan massal atas perempuan Cina dalam
Kerusuhan Mei 1998 senantiasa dihembus-hembuskan. Tidak lebih dari berita
bohong.
Hasil penyidikan FBI akhirnya membongkar kebohongan
itu. “Jika sebuah kebohongan terus-menerus diceritakan hingga terdengar luas di
masyarakat, maka lama-kelamaan masyarakat akan meyakini kebohongan itu sebagai
sebuah kebenaran.” kata Menteri Propaganda Nazi Jerman, Dr Josef Goebels, enam
dasawarsa yang lalu.
Meski sudah kuno, namun prinsip propaganda yang
diterapkan Nazi untuk melibas bangsa Yahudi di Eropa menjelang Perang Dunia II
itu masih terus dipakai dan dilestarikan hingga kini.
Strategi propaganda ala Goebels ini pun tetap laris di
Indonesia dan masih cukup efektif sebagai alat pemukul lawan politik dan ide
yang berseberangan. Tengoklah
berbagai propaganda hitam yang dikembangkan dengan cara itu. Misalnya, pembangunan opini bahwa Islam sudah tidak cocok untuk zaman modern ini, pembentukan opini bahwa
poligami identik dengan kekerasan, pengelabuan bahwa pluralisme adalah kebaikan yang harus diterima dan sebagainya.
berbagai propaganda hitam yang dikembangkan dengan cara itu. Misalnya, pembangunan opini bahwa Islam sudah tidak cocok untuk zaman modern ini, pembentukan opini bahwa
poligami identik dengan kekerasan, pengelabuan bahwa pluralisme adalah kebaikan yang harus diterima dan sebagainya.
Tapi, propaganda kebohongan paling dahsyat di Republik
ini adalah isu tentang pemerkosaan massal atas para perempuan etnis Cina pada
saat kerusuhan Mei 1998. Dengan sistematis mereka meniupkan isu tentang isu
perkosaan itu, dengan berbagai cerita di berbagai media, dengan berbagai cara
dan sarana, baik di dalam dan luar negeri. Padahal, dengan jelas isu itu
sebenarnya dipakai untuk mendeskreditkan Islam dan simbol-simbol Islam.
Kisah Vivian
dan Foto-Foto Perkosaan
Internet menjadi sarana paling hebat untuk
menyebarluaskan kisah perkosaan massal itu. Yang paling kontroversial adalah
kisah yang konon dialami oleh seorang gadis
keturunan Cina bernama ‘Vivian. Kisah itu muncul kira-kira pada pertengahan Juni 1998. Konon Vivian tinggal bersama orang tuanya di lantai 7 sebuah apartemen di kawasan Kapuk, Jakarta Utara ketika diserbu orang-orang tak dikenal saat kerusuhan Mei. Mereka lalu memperkosa Vivian, saudara, tante dan tetangga-tetanggany a.
keturunan Cina bernama ‘Vivian. Kisah itu muncul kira-kira pada pertengahan Juni 1998. Konon Vivian tinggal bersama orang tuanya di lantai 7 sebuah apartemen di kawasan Kapuk, Jakarta Utara ketika diserbu orang-orang tak dikenal saat kerusuhan Mei. Mereka lalu memperkosa Vivian, saudara, tante dan tetangga-tetanggany a.
Kisah Vivian sangat deskriptif, detail dan menyentuh,
sehingga mampu membangkitkan emosi. Majalah Jakarta-Jakarta sempat mengutip
cerita perkosaan yang sangat vulgar itu mentah-mentah dalam sebuah edisinya.
Dalam cerita itu, dengan sangat kurang ajar, ia menceritakan bahwa orang-orang
yang bertampang seram itu memperkosa mereka
dengan berteriak “Allahu Akbar” sebelum melakukan perbuatan itu. Caci maki pun berhamburan kepada ummat Islam dan para Ulama.
dengan berteriak “Allahu Akbar” sebelum melakukan perbuatan itu. Caci maki pun berhamburan kepada ummat Islam dan para Ulama.
Hampir bersamaan dengan munculnya kisah Vivian, muncul
pula foto-foto yang konon berisi gambar para korban kerusuhan Mei di jaringan
internet. Beberapa website memuat foto-foto yang luar biasa sadis dan mencekam.
Siapapun pasti tersulut
amarahnya bila melihat foto-foto yang disebut-sebut sebagai foto kerusuhan Mei 1998 dan korban-korban perkosaan massal itu.
amarahnya bila melihat foto-foto yang disebut-sebut sebagai foto kerusuhan Mei 1998 dan korban-korban perkosaan massal itu.
Pemajangan foto-foto di media internet itu telah
mengundang emosi luar biasa bagi etnis Cina di seluruh dunia. Mereka menganggap
kerusuhan Mei 1998 adalah sebuah operasi yang sengaja ditujukan untuk
mengenyahkan orang Cina, dan menyetarakan kasus perkosaan massal atas
perempuan-perempuan itu dengan kasuk The Rape of Nanking,
saat pendudukan Jepang ke Cina tahun 1937.
saat pendudukan Jepang ke Cina tahun 1937.
Upaya
Menelisik Fakta
Para wartawan yang kredibel mengakui bahwa pada saat
peristiwa Mei 1998, peristiwa perkosaan memang terjadi. Seorang wartawan FORUM
mendapat pengakuan dari seorang
anggota Satgas PDI Perjuangan bernama M, bahwa dia dan teman-temannyalah yang menyerbu dan membakar pertokoan di Pasar Minggu. Ia juga mengaku melecehkan perempuan, bahkan beberapa kawannya memperkosa mereka. Tapi menurut dia,
korban tidak hanya dari kalangan Cina. “Siapa aja, ada Amoy, ada Melayu, ada Arab,” kata anggota Satgas PDIP itu.
anggota Satgas PDI Perjuangan bernama M, bahwa dia dan teman-temannyalah yang menyerbu dan membakar pertokoan di Pasar Minggu. Ia juga mengaku melecehkan perempuan, bahkan beberapa kawannya memperkosa mereka. Tapi menurut dia,
korban tidak hanya dari kalangan Cina. “Siapa aja, ada Amoy, ada Melayu, ada Arab,” kata anggota Satgas PDIP itu.
Para wartawan pun terus mencoba mengejar dan
mewawancarai korban dengan semua petunjuk tentang para korban, tapi hasilnya
nihil. Konon semua sudah pergi ke luar negeri dan tidak terlacak lagi. Hanya
anak ekonom Christianto Wibisono yang terkonfirmasi sebagai korban perkosaan
Mei 1998.
Majalah Tempo, dalam edisi pertama setelah terbit lagi
juga tak mampu menemukan korban, apalagi sampai berjumlah ratusan.
Beberapa wartawan yang melacak lokasi yang di duga
menjadi tempat tinggal Vivian dan keluarganya, juga tak menemukan apa-apa.
Warga di sekitar apartemen menjawab tidak ada dan tidak pernah terdengar adanya
Amoy yang diperkosa saat kerusuhan Mei 1998. Seorang anak nelayan yang pada dua
hari jahanam itu menjarah apartemen tempat Vivian tinggal mengaku, jangankan
memperkosa, ketemu penghuni juga tidak. Sebab, mereka sudah kabur ke luar
negeri.
Soal jumlah korban perkosaan pun menjadi ajang
perdebatan seru. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Kerusuhan Mei 1998
pecah gara-gara bab yang membahas hal ini. Sebagian anggota ingin memasukkan
semua laporan tentang adanya perkosaan, sementara yang lain meminta semua di
klarifikasi dulu. “Terkesan ada yang ingin memanfaatkan isu ini untuk
kepentingan tertentu.” kata anggota TGPF Roosita Noer.
Tengoklah data yang mereka kumpulkan. Dari 187 nama
menurut daftar yang dibawa anggota TGPF Saparinah Sadli dan 168 dalam daftar
Pastor Jesuit Sandyawan Sumardi, ternyata hanya 4 orang yang berhasil
diklarifikasi, yang lain baru qaala wa qiila, alias kata orang. Sementara, 2
(dua) orang korban yang di datangkan anggota TGPF Nursyahbani Katjasungkana
ternyata orang gila beneran yang di duga sudah lama. Lucunya, ketika data ini
diminta, Ketua TGPF Marzuki Darusman tidak mau membagi data itu kepada anggota
yang lain.
Dari sisi ilmu statistik, data soal perkosaan massal
pun aneh. Misalnya laporan tentang adanya perkosaan jauh lebih besar dari pada
laporan tentang pelecehan seksual, di raba-raba dan sebagainya. Padahal,
seharusnya menurut statistik, berdasarkan kurva sebaran, pola acak akan selalu
membentuk kurva seimbang. Jumlah laporan orang yang diraba-raba saja seharusnya
lebih banyak dari pada yang dilaporkan mengalami pelecehan, apalagi yang sampai
diperkosa, dengan tingkatan paling berat.
Kebenaran kisah Vivian sempat juga dipertanyakan
kalangan keturunan Cina sendiri. Mungkinkah si terperkosa, dalam waktu singkat
menceritakan hal ini, sehingga cerita ini muncul di internet pada 13 Juni 1998—
dan bisa mengendalikan emosi, sehingga bisa menuliskan kisah kesadisan yang
dialaminya secara detail? Bukankah hal ini
bertentangan dengan anggapan bahwa etnis Tionghoa teramat sangat tertutup dalam hal perkosaan?
bertentangan dengan anggapan bahwa etnis Tionghoa teramat sangat tertutup dalam hal perkosaan?
Setelah menerima banyak pertanyaan soal orisinilitas
cerita Vivian, pengelola situs Web World Huaren Federation (WHF), Dean Tse,
dalam pesannya tanggal 18 Agustus 1998,
minta agar pengirim cerita bisa memberi keterangan lebih lanjut. Namun hingga kini, permintaan Dean Tse belum ada jawaban. Dean Tse pun tidak bisa melacak alamat si pengirim cerita tersebut di jaringan internet.
minta agar pengirim cerita bisa memberi keterangan lebih lanjut. Namun hingga kini, permintaan Dean Tse belum ada jawaban. Dean Tse pun tidak bisa melacak alamat si pengirim cerita tersebut di jaringan internet.
Belakangan Soekarno Chenata, pengelola situs Web Indo
Chaos, juga mengakui foto-foto yang bergentayangan di situsnya, sama sekali
tidak otentik. Kepada detik.com, Soekarno mengaku pernah menerima foto sadis
yang sempat di pajang di Indo Chaos. Namun ia segera mencabut foto itu dari
situsnya karena ternyata foto itu adalah hasil montase dan diambil dari situs
porno yang memang brutal.
Terbongkar
Habis
Upaya pembuktian telah dilakukan, namun upaya
pengaburan dan disinformasi terus dilakukan. Misalnya, ketika fakta bahwa
Vivian tidak pernah ada, para agitator itu berdalih, Vivian adalah nama dan
alamat yang dipakai dan hanyalah nama samaran. Ketika para wartawan tidak
menemukan korban, mereka berkilah soal keselamatan korban. Hingga akhirnya
kebohongan itu terbongkar, justru dari AMERIKA SERIKAT,
tempat di mana para pembohong itu mengobral cerita untuk menyudutkan kaum Muslimin di Indonesia.
tempat di mana para pembohong itu mengobral cerita untuk menyudutkan kaum Muslimin di Indonesia.
Semula, pemerintah Amerika Serikat dengan mudah
memberikan suaka kepada imigran asal Indonesia yang mengaku dianiaya dan
dirudung kekerasan seksual di negerinya dengan alasan etnik dan agama. Tapi
gara-gara kesamaan pola cerita, kedekatan waktu pengajuan, kesamaan alamat dan
asal pengaju, dan kesamaan kantor pengajuan, mereka mulai curiga.
Setelah menyelidiki selama dua tahun, pada Senin, 22
November 2004 satuan tugas rahasia pemerintah Amerika Serikat menggelar operasi
bersandi Operation Jakarta.
Operasi penangkapan 26 anggota sindikat pemalsu dokumen suaka ini dilakukan serentak di lebih dari 10 negara bagian di Amerika Serikat. “Pemimpin sindikat ini adalah Hans Guow, WNI yang dikabulkan permohonan suakanya pada 1999,” kata Jaksa Penuntut Wilayah Virginia, Paul J McNulty yang menangani kasus ini.
Operasi penangkapan 26 anggota sindikat pemalsu dokumen suaka ini dilakukan serentak di lebih dari 10 negara bagian di Amerika Serikat. “Pemimpin sindikat ini adalah Hans Guow, WNI yang dikabulkan permohonan suakanya pada 1999,” kata Jaksa Penuntut Wilayah Virginia, Paul J McNulty yang menangani kasus ini.
Para tersangka dikenai tuduhan sama, yakni memalsukan
dokumen suaka serta berkonspirasi dalam pemalsuan berbagai dokumen. Awalnya
mereka hanya membantu menyediakan dokumen asli tapi palsu. Tapi setelah
berhasil mengibuli pihak berwenang dengan memalsukan izin kerja dan nomor
jaminan sosial, mereka mulai menyiapkan aplikasi suaka palsu.
Mereka juga menyiapkan skenario pengakuan
bo’ong-bo’ongan seperti diperkosa atau dianiaya dalam kerusuhan Mei 1998.
“Cerita tentang penyiksaan itu sangat seragam karena para pelamar menghafalkan
kata demi kata secara persis seperti yang diajarkan,” kata Jaksa McNulty.
Mereka pun mengajari kliennya untuk menangis dan memohon dengan emosional untuk
mengundang simpati petugas.
Lucunya, mereka menceritakan kisah yang sama. Cerita
diperkosa supir taksi misalnya meluncur dari mulut 14 perempuan yang mengajukan
permohonan suaka sejak 31 Oktober
2000 hingga 6 Januari 2002. “Mereka mengaku diperkosa karena keturunan Cina,” kata Dean McDonald, agen spesial dari Biro Imigrasi dan Bea Cukai Kepabeanan Departemen
Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat di negara bagian Virginia.
2000 hingga 6 Januari 2002. “Mereka mengaku diperkosa karena keturunan Cina,” kata Dean McDonald, agen spesial dari Biro Imigrasi dan Bea Cukai Kepabeanan Departemen
Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat di negara bagian Virginia.
Belakangan, Voice of Amerika juga membuat liputan
investigatif tentang isu perkosaan massal itu. Mereka keluar masuk berbagai
lokasi yang dicurigai sebagai TKP perkosaan massal, dan mencoba mewawancarai
berbagai pihak. Tapi hasilnya nihil. Perkosaan memang ada, tapi dengan
mengikuti petuah Goebels, fakta telah didramatisasi sedemikian rupa dan
dimanipulasi dengan dahsyat.
0 komentar:
Posting Komentar